Beranda Informasi 80 Tahun Indonesia Merdeka: Di Persimpangan Jalan, Ke Mana Arah Bangsa?

80 Tahun Indonesia Merdeka: Di Persimpangan Jalan, Ke Mana Arah Bangsa?

0

SumselNews.Co.Id | 80 Tahun Indonesia Merdeka: Di Persimpangan Jalan, Ke Mana Arah Bangsa?

Tahun ini, kita menandai sebuah tonggak sejarah yang monumental: 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Delapan dekade bukanlah waktu yang singkat. Ia adalah rentang waktu di mana sebuah bangsa, yang lahir dari perjuangan heroik, berupaya menemukan identitas, membangun peradaban, dan mengejar cita-cita luhur para pendiri bangsa. Namun, di tengah perayaan kemerdekaan yang seharusnya penuh suka cita, muncul sebuah pertanyaan besar yang menghantui benak banyak pihak: ke mana sebenarnya arah bangsa ini akan dibawa?

Pertanyaan ini bukan muncul tanpa dasar. Serangkaian peristiwa dan kebijakan dalam beberapa waktu terakhir memicu kekhawatiran mendalam akan terkikisnya pilar-pilar demokrasi dan supremasi sipil yang telah susah payah diperjuangkan. Dari perubahan undang-undang fundamental hingga upaya pembatasan kebebasan berekspresi, kita menyaksikan bagaimana “legalitas” dan “koalisi raksasa” menjadi alat untuk melegitimasi langkah-langkah yang, bagi sebagian orang, terasa seperti kemunduran.

Bayangan Legalisasi dan Pembatasan Kebebasan

Salah satu fenomena yang paling kentara adalah kian besarnya peran dan masuknya aparat bersenjata ke dalam jabatan-jabatan sipil. Fenomena ini, yang mengingatkan pada era Orde Baru, menimbulkan kekhawatiran akan militerisasi birokrasi dan potensi tergerusnya profesionalisme di sektor sipil. Meski argumentasi yang sering dikemukakan adalah masalah kompetensi dan kedisiplinan, publik tetap bertanya tentang batas-batas demarkasi antara peran militer dan sipil dalam sebuah negara demokrasi.

Tidak hanya itu, amandemen Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK) juga menjadi sorotan tajam. Perubahan yang menyangkut umur hakim dan pemangkasan pengawasan terhadap lembaga peradilan konstitusi ini dinilai dapat melemahkan independensi MK sebagai penjaga konstitusi terakhir. Jika lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan dan supremasi hukum dilemahkan, maka kredibilitas sistem peradilan secara keseluruhan akan dipertanyakan.

Di sektor media dan kebebasan berekspresi, revisi Undang-Undang Penyiaran dan undang-undang laiya yang menyasar konten kreator juga memicu gelombang protes. Ancaman pembatasan ruang gerak media dan konten kreator, dengan dalih menjaga ketertiban atau moralitas, berpotensi membungkam suara-suara kritis dan membatasi akses publik terhadap informasi yang beragam. Padahal, pers yang bebas dan konten kreator yang inovatif adalah salah satu indikator vital dari kesehatan demokrasi.

Bahkan, narasi sejarah bangsa pun tak luput dari potensi intervensi. Wacana revisi pelajaran sejarah di sekolah dengan versi “pemerintah” menimbulkan kekhawatiran akan upaya rekayasa sejarah dan indoktrinasi ideologi tertentu. Sejarah adalah fondasi identitas bangsa, dan penyajiaya haruslah berdasarkan fakta, objektivitas, dan keragaman perspektif, bukan alat propaganda politik.

Semua ini dilakukan secara resmi, melalui jalur konstitusi dan dukungan koalisi yang besar. Namun, legalitas saja tidak cukup untuk menjamin keadilan dan melindungi hak asasi. Ketika pembatasan kebebasan dilakukan atas nama legalitas, kita harus waspada. Sebab, legalitas yang tidak diiringi dengan moralitas dan komitmen terhadap nilai-nilai demokrasi dapat menjadi jalan menuju otokrasi yang terselubung.

Perbandingan dengaegara-negara Asia Lain

Melihat kondisi ini, refleksi semakin mendalam ketika kita membandingkan diri dengaegara-negara Asia lain. Dalam kurun waktu 80 tahun, negara-negara seperti Korea Selatan, Vietnam, Thailand, dan Malaysia telah melesat maju, tidak hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga dalam pembangunan infrastruktur, inovasi teknologi, dan peningkatan kualitas hidup warganya. Korea Selatan, yang puluhan tahun lalu masih porak-poranda oleh perang, kini menjadi raksasa ekonomi dan budaya global. Vietnam, setelah melalui perang panjang, bangkit menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan. Thailand dan Malaysia terus beradaptasi dan mengembangkan diri di tengah dinamika global.

Tentu, setiap negara memiliki konteks dan tantangan uniknya sendiri. Indonesia dengan keberagaman geografis, etnis, dan agama yang luar biasa, menghadapi kompleksitas yang berbeda. Namun, pertanyaan mendasar tetap muncul: mengapa kemajuan yang sebanding atau bahkan lebih cepat, dalam beberapa aspek, terasa sulit digapai? Apakah ini tentang efektivitas tata kelola pemerintahan, konsistensi kebijakan, atau justru komitmen terhadap prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi landasan pembangunan berkelanjutan?

Kilas Balik Perjalanan 80 Tahun Bangsa

Dalam 80 tahun ini, bangsa Indonesia telah melewati banyak babak yang penuh gejolak dan perubahan. Kita pernah bertahan di tengah krisis sosial, ekonomi, dan politik yang sangat hebat di tahun 60-an, di mana persatuan bangsa diuji di ambang perpecahan. Kita pernah hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan militer yang berkuasa selama 32 tahun, sebuah periode di mana stabilitas dipertukarkan dengan pembatasan kebebasan dan hak asasi manusia.

Lalu datanglah era Reformasi, yang memungkinkan kita menghirup udara demokrasi yang segar dan menegakkan supremasi kekuatan sipil. Era ini adalah penanda penting transisi menuju sistem politik yang lebih terbuka, akuntabel, dan menghargai pluralisme. Institusi demokrasi seperti pemilu yang bebas dan adil, kebebasan pers, serta lembaga peradilan yang independen mulai dibangun dan diperkuat.

Namun, kini kita masuk ke babak baru yang penuh tanda tanya. Apakah kita akan mampu menjaga dan memperkuat pencapaian demokrasi yang telah susah payah diraih? Atau justru kita akan kembali ke pola-pola lama, di mana kekuasaan terpusat dan kebebasan dibatasi, meskipun dengan kemasan “legalitas” yang baru?

Mempertahankan Demokrasi dailai Konstitusi

Di persimpangan jalan ini, penting bagi setiap elemen bangsa untuk mengingat kembali nilai-nilai dasar konstitusi dan semangat proklamasi kemerdekaan. Demokrasi bukanlah sekadar prosedur atau mekanisme pemilihan, melainkan sebuah sistem yang menjamin partisipasi publik, perlindungan hak asasi manusia, supremasi hukum, dan keseimbangan kekuasaan.

  • Independensi Lembaga Negara: Kualitas demokrasi sangat bergantung pada independensi lembaga-lembaga negara, terutama lembaga peradilan dan lembaga pengawasan. Mempertahankan kemandirian Mahkamah Konstitusi, misalnya, adalah krusial untuk memastikan bahwa setiap tindakan pemerintah dan legislatif sesuai dengan koridor konstitusi.
  • Kebebasan Pers dan Berekspresi: Media yang bebas dan masyarakat sipil yang aktif adalah pilar penting dalam mengawal pemerintahan. Pembatasan yang berlebihan terhadap pers dan konten kreator hanya akan melemahkan kontrol sosial dan menciptakan ruang bagi penyalahgunaan kekuasaan.
  • Pendidikan Sejarah yang Kritis: Sejarah harus diajarkan secara komprehensif, mencakup berbagai perspektif, dan mendorong pemikiran kritis. Ini penting untuk membentuk warga negara yang mampu belajar dari masa lalu dan tidak mudah diombang-ambing oleh narasi tunggal.

Proyeksi dan Harapan untuk Masa Depan

Pertanyaan “kita mau jadi bangsa yang seperti apa?” bukanlah pertanyaan retoris, melainkan panggilan untuk bertindak. Apakah kita ingin menjadi bangsa yang kokoh dengan demokrasi yang matang, di mana hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, kebebasan dihormati, dan keadilan merata untuk semua? Atau, apakah kita akan membiarkan diri tergelincir kembali ke bayang-bayang kekuasaan yang otoriter, meskipun dengan wajah yang lebih modern?

Masa depan Indonesia ada di tangan kita semua. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau parlemen, tetapi juga setiap warga negara. Peran aktif masyarakat sipil, akademisi, media, dan setiap individu untuk menyuarakan aspirasi, mengawal kebijakan, dan mempertahankailai-nilai demokrasi adalah mutlak diperlukan. Kita harus menjadi penjaga demokrasi dan konstitusi, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tidak menjauhkan kita dari cita-cita luhur kemerdekaan.

Kesimpulan

Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah momentum untuk merenung, bersyukur atas perjalanan bangsa yang panjang, sekaligus menatap ke depan dengan penuh kesadaran kritis. Tantangan yang kita hadapi saat ini, terutama terkait dengan dinamika konstitusi dan potensi pembatasan kebebasan, adalah ujian terhadap kematangan demokrasi kita. Kita telah melewati krisis hebat di tahun 60-an, hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan militer, dan menikmati udara reformasi. Kini, di persimpangan jalan ini, pilihan ada di tangan kita. Selamat Hari Kemerdekaan ke-80 tahun untuk kita semua, bangsa Indonesia. Semoga kita mampu menemukan arah yang tepat, menuju masa depan yang lebih adil, makmur, dan demokratis.